Selasa, 01 November 2016

puisi



 Angin bertiup sepoi-sepoi
ku rasa sangat sejuk
ketika ada hal yang menghalangi
salah apakah sebenarnya
 
Ketika semua orang berkata

Ku rasa sangat tak suka

Orang lain pun mulai bertanya

Ada apa sebenarnya

Akupun mulai menjawab

Satu kata yang terluka

Mereka berkata semaunya

Tak hiraukan yang ada

Semua orang punya rasa

Hanya merasa paling benar

Orang luka mereka terbiar

Walau kata sangat kasar



Kata apa
žSebuah kata bagai pedang,bagi sebagian orang,karena kata itu bisa terkenang,dalam hati setiap orang,bila kata itu memang baik,semua orang tentu tertarik,tapi kata itu salah,semua orang takan mengalah,bagai api yang membakar,siapapun yang mendengar,maka siapapun yang berkata,jangan harap dapat ma’af nya.
Hidup ini indah
 

pembangkit listrik tenaga ombak.


pembangkit listrik tenaga ombak.   




Cara kerja pembangkit listrik baru ini sangat sederhana. Sebuah tabung beton dipasang pada suatu ketinggian tertentu di pantai dan ujungnya dipasang dibawah permukaan air laut. Tiap kali ada ombak yang datang ke pantai, air di dalam tabung beton itu akan mendorong udara yang terdapat di bagian tabung yang terletak di darat. Pada saat ombak surut, terjadi gerakan udara yang sebaliknya dalam tabung tadi. Gerakan udara yang bolak-balik inilah yang dimanfaatkan untuk memutar turbin yang dihubungkan dengan sebuah pembangkit listrik. Sebuah alat khusus dipasang pada turbin itu supaya turbin hanya berputar satu arah, walaupun arah arus udara dalam tabung beton itu silih berganti.

pernikahan beda agama



Hak asasi manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
pernikahan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Ham dan pernikahan beda agama
Diskriminasi sebagaimana yang tercantum dalam batasan definisi Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Batasan definisi tentang diskriminasi dalam Undang-Undang tentang HAM merupakan salah satu penjelasan dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM mencantumkan ketentuan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM merupakan penjabaran dari Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Perlindungan yang diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 juga dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 74 Undang-Undang tentang HAM yang berbunyi tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam ketentuan Pasal-Pasal di atas, hak beragama dan hak kebebasan pribadi merupakan hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Pemerintah atau pihak manapun tidak dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia dan kebebasan dasar tersebut.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan batin sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama yang ketentuannya diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM.
Hak kebebasan pribadi pikiran dan hati nurani serta hak beragama merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Pemerintah atau pihak manapun yang dianggap mempunyai kekuasaan atas hal tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) merupakan suatu aturan yang saling bertentangan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 74 Undang-Undang tentang HAM serta ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, maka aturan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan merupakan salah satu pelanggaran terhadap kebebasan dasar atau hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang tentang HAM dalam Pasal 75 huruf a yang berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal 16 DUHAM mengatur mengenai hak untuk menikah yang dituangkan pada 3 ayat :
(1) laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
(2) perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan
(3)keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Pasal 16 DUHAM tersebut memberikan aturan tegas mengenai kebebasan untuk menikah dan membentuk keluarga yang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh setiap laki-laki dan perempuan dewasa yang salah satunya tanpa dibatasi perbedaan agama.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi DUHAM secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam DUHAM. Selain ketentuan yang terdapat dalam DUHAM, aturan yang tertulis dalam UUD Tahun 1945 sebagai peraturan tertinggi yang berlaku di Indonesia juga wajib untuk diterapkan. Ketentuan Pasal 16 DUHAM tentang kebebasan untuk menikah sebagaimana disebutkan di atas juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan yang memberikan pembatasan terhadap pernikahan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Ketentuan tersebut secara nyata memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan dan hak untuk menikah terhadap laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.
Pembatasan yang diberikan negara Indonesia terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan dengan sangat bertentangan ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia sendiri. Latar belakang pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan, antara lain unsur Pemerintah dan unsur agama, menyebabkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap golongan mayoritas.
Indonesia yang merupakan negara dengan latar belakang masyarakat yang berbeda-beda hendaknya menempatkan suatu peraturan sebgai payung hukum bagi seluruh lapisan masyarakat, baik bagi golongan mayoritas maupun bagi golongan minoritas. Sebagai negara yang multi-agama, Indonesia tidak akan pernah bisa memaksakan rakyatnya untuk selalu menikah dengan pasangan yang mempunyai agama atau keyakinan yang sama.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan membuktikan bahwa Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan yang termuat dalam DUHAM dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial yang telah diratifikasi. Selain melanggar dua peraturan internasional tersebut, Indonesia juga melanggar ketentuan dari konstitusi negara, yaitu UUD Tahun 1945. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut merupakan bentuk pelanggaran kebebasan dasar dan hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang dan wajib dilindungi oleh negara.
Hak asasi manusia bukan merupakan ketentuan yang hanya tertulis dalam setiap peraturan saja. Indonesia sebagai negara anggota PBB juga seharusnya tidak hanya ikut berlomba untuk meratifikasi setiap konvensi internasional tentang HAM. HAM harus diwujudkan secara nyata, dimana prinsip-prinsip HAM tersebut harus dimasukkan ke dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan menegakkan HAM yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa ada batasan dan diskriminasi. Pemerintah tidak mempunyai dibenarkan mengintervensi kebebasan beragama ke dalam hukum nasional yang salah satunya adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perkawinan.
Undang-Undang tentang HAM juga telah menyebutkan tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini. Hak beragama dan hak kebebasan pribadi merupakan dua dari sekian hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang telah diakui dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang ini juga merupakan pelaksana dari Pancasila, UUD Tahun 1945 dan DUHAM yang sangat melindungi hak asasi manusia.
Wacana dan kasus yang semakin berkembang tentang pembatasan pernikahan beda agama di Indonesia pada akhirnya nanti dapat dimungkinkan akan menjadi sorotan masyarakat internasional tentang terjadinya kembali pelanggaran HAM di Indonesia mengingat semakin banyaknya pasangan beda agama yang melangsungkan pernikahannya di luar negeri hanya untuk memperoleh pengakuan hukum yang sah.
Berdasarkan uraian di atas, Indonesia hendaknya melakukan pengkajian ulang terhadap penerapan Undang-Undang tentang Perkawinan yang masih berlaku sampai saat ini serta mencabut Undang-Undang tersebut dan menggantinya dengan Undang-Undang baru yang sesuai dengan ketentuan UUD Tahun 1945, DUHAM dan Undang-Undang tentang HAM tanpa ada intervensi dari golongan mayoritas atau golongan penguasa
Tentang hal ini dapat dijelaskan lebih jauh.

Bahwa bagaimana ketentuan Undang-Undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai perkawinan beda agama? Pertama-tama perlu dilihat bahwa dengan berlakunya undang-undang tersebut menurt ketentuan Pasal 66 untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesier S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Berdasarkan ketentuan ini maka peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku sebelumnya dan substansi materinya telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 termasuk GHR Stb 1878 No. 158 yang mengatur tentang Perkawinan Campuran menjadi tidak berlaku lagi. Selain itu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa konsep perkawinan yang dianut adalah perkawinan yang berdasarkan atas prinsip ketuhana yang Maha Esa sehingga tidak dimungkinkan adanya perkawinan yang bersifat sekuler.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seornag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sedangkan Penjelasan Umum angka 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa sesuai dengan landasan falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Udnang-Udnang dasar 1945, sedangkan dilain pihak harus dapat pula menamping segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini, Undang- Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya serta peraturan pelaksanaannya, tidak ada ketentuan yag mengatur secara tegas mengenai perkawinan berbeda agama. Akan tetapi apabila melihat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan baha perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, menurut Hartini, undang-undang mengindikasikan bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan caracara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Negara. Dengan demikian apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, disamping tergantung pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.

Selanjutnya menurut Hartini hal ini dipertegas oleh Ketentuan Pasal 8 huruf f Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sekalipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara tegas mengenai perkawinan beda agama. Namun secara implisit bagi orang Islam terdapat suatu larangan sebagaimana yang ditentukan dalam agama Islam, demikian juga bagi orrang Kristen, Katholik serta pemeluk agama lain (Hartini, 2004:14-15).

Selanjutnya Hartini menyatakan bahwa satu-satunya Pasal yang mengatur mengenai perkawinan campuran adalah Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tetapi yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan campuran antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Pasal ini menurut Hartini tidak mencakup perkawinan antar agama, oleh karena pada umumnya agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama, maka dapat ditafsirkan bahwa secara implisit Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pun melarang adanya perkawinan beda agama (Hartini, 2009:15).





Pendapat dari komnas HAM
Uji materi terhadap terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan, perkawinan beda agama juga dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena bertentangan dengan UU tentang HAM.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Maneger Nasution mengatakan, dalam pasal 28B UUD 1945 telah disebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Bunyi yang sama persis juga tercantum dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Menurutnya, perkawinan di Indonesia dianggap sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. “Jadi (perkawinan beda agama) itu bertentangan dengan Pasal 28B UUD 1945 dan juga sekaligus melanggar HAM,” katanya kepada //Republika//, Selasa (16/9).

Dia mengatakan, negara Indonesia memang bukan negara agama, tetapi Indonesia adalah negara orang yang beragama. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari ideologi Pancasila yang dianut bangsa Indonesia. Maka, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) harus menolak permohonan uji materi. Sebab, perkawinan beda agama bertentangan dengan konstitusi.

Menurutnya, masalah perkawinan masuk dalam domain agama. Posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau pencatatan peristiwa perkawinan. Sementara sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.

Jika pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu dibatalkan oleh MK, kata dia, maka hukum negara justru menabrak hukum agama. Hal itu berarti negara tidak hadir dalam menjamin warganya untuk menjalankan keyakinan yang mereka anut. “Dan itu justru yang bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.