Hak asasi
manusia
pernikahan
Ham dan pernikahan beda agama
Diskriminasi sebagaimana yang tercantum dalam
batasan definisi Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek
kehidupan lainnya. Batasan definisi tentang diskriminasi dalam Undang-Undang
tentang HAM merupakan salah satu penjelasan dari ketentuan Pasal 3 ayat (3)
yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM mencantumkan
ketentuan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4
Undang-Undang tentang HAM merupakan penjabaran dari Pasal 28I ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Perlindungan yang diatur dalam Pasal
28I ayat (2) UUD Tahun 1945 juga dipertegas dengan ketentuan dalam Pasal 74
Undang-Undang tentang HAM yang berbunyi tidak satu ketentuanpun dalam
Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia
atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam ketentuan Pasal-Pasal di atas, hak beragama
dan hak kebebasan pribadi merupakan hak yang tidak dapat dikurangkan dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Pemerintah atau pihak manapun tidak
dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar tersebut.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan batin sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani serta hak beragama yang ketentuannya diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang tentang HAM.
Hak kebebasan pribadi pikiran dan hati nurani
serta hak beragama merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Pemerintah atau pihak manapun yang
dianggap mempunyai kekuasaan atas hal tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1)
merupakan suatu aturan yang saling bertentangan. Berdasarkan pada ketentuan
Pasal 4 dan Pasal 74 Undang-Undang tentang HAM serta ketentuan Pasal 28I ayat
(2) UUD Tahun 1945, maka aturan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang tentang Perkawinan merupakan salah satu pelanggaran terhadap
kebebasan dasar atau hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Tahun 1948 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang tentang HAM
dalam Pasal 75 huruf a yang berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945
dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia. Pasal 16 DUHAM mengatur mengenai hak untuk menikah yang dituangkan
pada 3 ayat :
(1) laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa
dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak
untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama
dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
(2) perkawinan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan
(3)keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan
fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat
dan negara.
Pasal 16 DUHAM tersebut memberikan aturan tegas
mengenai kebebasan untuk menikah dan membentuk keluarga yang merupakan suatu
hak yang dimiliki oleh setiap laki-laki dan perempuan dewasa yang salah satunya
tanpa dibatasi perbedaan agama.
Indonesia sebagai salah satu negara yang
meratifikasi DUHAM secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam DUHAM. Selain ketentuan yang
terdapat dalam DUHAM, aturan yang tertulis dalam UUD Tahun 1945 sebagai
peraturan tertinggi yang berlaku di Indonesia juga wajib untuk diterapkan.
Ketentuan Pasal 16 DUHAM tentang kebebasan untuk menikah sebagaimana disebutkan
di atas juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan yang
memberikan pembatasan terhadap pernikahan yang hanya diakui secara sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut.
Ketentuan tersebut secara nyata memberikan pembatasan berdasarkan agama
terhadap kebebasan dan hak untuk menikah terhadap laki-laki dan perempuan yang
sudah dewasa.
Pembatasan yang diberikan negara Indonesia
terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan dengan sangat bertentangan
ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD
Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia sendiri. Latar belakang
pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur
kepentingan, antara lain unsur Pemerintah dan unsur agama, menyebabkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap
golongan mayoritas.
Indonesia yang merupakan negara dengan latar
belakang masyarakat yang berbeda-beda hendaknya menempatkan suatu peraturan
sebgai payung hukum bagi seluruh lapisan masyarakat, baik bagi golongan mayoritas
maupun bagi golongan minoritas. Sebagai negara yang multi-agama, Indonesia
tidak akan pernah bisa memaksakan rakyatnya untuk selalu menikah dengan
pasangan yang mempunyai agama atau keyakinan yang sama.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan
membuktikan bahwa Indonesia telah melanggar ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam DUHAM dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Rasial yang telah diratifikasi. Selain melanggar dua peraturan
internasional tersebut, Indonesia juga melanggar ketentuan dari konstitusi
negara, yaitu UUD Tahun 1945. Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut
merupakan bentuk pelanggaran kebebasan dasar dan hak asasi manusia yang
dimiliki oleh setiap orang dan wajib dilindungi oleh negara.
Hak asasi manusia bukan merupakan ketentuan yang
hanya tertulis dalam setiap peraturan saja. Indonesia sebagai negara anggota
PBB juga seharusnya tidak hanya ikut berlomba untuk meratifikasi setiap
konvensi internasional tentang HAM. HAM harus diwujudkan secara nyata, dimana
prinsip-prinsip HAM tersebut harus dimasukkan ke dalam hukum positif yang
berlaku di Indonesia.
Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk
menghormati, melindungi dan menegakkan HAM yang
dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa ada batasan dan
diskriminasi. Pemerintah tidak mempunyai dibenarkan mengintervensi kebebasan
beragama ke dalam hukum nasional yang salah satunya adalah ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Perkawinan.
Undang-Undang tentang HAM juga telah menyebutkan tidak
satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah,
partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam
Undang-Undang ini. Hak beragama dan hak kebebasan pribadi merupakan dua dari
sekian hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang telah diakui dalam
Undang-Undang tersebut. Undang-Undang ini juga merupakan pelaksana dari
Pancasila, UUD Tahun 1945 dan DUHAM yang sangat melindungi hak asasi manusia.
Wacana dan kasus yang semakin berkembang tentang
pembatasan pernikahan beda agama di Indonesia pada akhirnya nanti dapat
dimungkinkan akan menjadi sorotan masyarakat internasional tentang terjadinya
kembali pelanggaran HAM di Indonesia mengingat semakin banyaknya pasangan beda
agama yang melangsungkan pernikahannya di luar negeri hanya untuk memperoleh
pengakuan hukum yang sah.
Berdasarkan uraian di atas, Indonesia hendaknya
melakukan pengkajian ulang terhadap penerapan Undang-Undang tentang Perkawinan
yang masih berlaku sampai saat ini serta mencabut Undang-Undang tersebut dan
menggantinya dengan Undang-Undang baru yang sesuai dengan ketentuan UUD Tahun
1945, DUHAM dan Undang-Undang tentang HAM tanpa ada intervensi dari golongan
mayoritas atau golongan penguasa
Tentang
hal ini dapat dijelaskan lebih jauh.
Bahwa bagaimana ketentuan
Undang-Undang No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai perkawinan
beda agama? Pertama-tama perlu dilihat bahwa dengan berlakunya undang-undang
tersebut menurt ketentuan Pasal 66 untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas
undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesier S.1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158) dan peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan ketentuan ini maka peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku sebelumnya dan
substansi materinya telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 termasuk
GHR Stb 1878 No. 158 yang mengatur tentang Perkawinan Campuran menjadi tidak berlaku lagi. Selain itu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa konsep perkawinan yang dianut adalah perkawinan yang berdasarkan atas prinsip ketuhana yang Maha Esa
sehingga tidak dimungkinkan adanya perkawinan
yang bersifat sekuler.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seornag pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menentukan bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa dengan perumusan pada Pasal 2 ayat
(1) ini, tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang
dimaksud dengan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang
ini. Sedangkan Penjelasan Umum angka 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa
sesuai dengan landasan falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Udnang-Udnang dasar 1945, sedangkan dilain pihak
harus dapat pula menamping segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa
ini, Undang- Undang Perkawinan
ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, baik dalam pasal-pasal maupun
penjelasannya serta peraturan pelaksanaannya, tidak ada ketentuan yag mengatur
secara tegas mengenai perkawinan
berbeda agama. Akan tetapi apabila melihat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan baha perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, menurut Hartini, undang-undang
mengindikasikan bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama
untuk menentukan caracara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh Negara. Dengan demikian apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, disamping tergantung pada ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Selanjutnya menurut Hartini hal ini dipertegas oleh Ketentuan Pasal 8 huruf
f Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari ketentuan
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sekalipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tidak mengatur secara tegas mengenai perkawinan
beda agama. Namun secara implisit bagi orang Islam terdapat suatu larangan
sebagaimana yang ditentukan dalam agama Islam, demikian juga bagi orrang
Kristen, Katholik serta pemeluk agama lain (Hartini, 2004:14-15).
Selanjutnya Hartini menyatakan bahwa satu-satunya Pasal yang mengatur
mengenai perkawinan campuran adalah Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, tetapi yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan campuran antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Pasal ini menurut Hartini tidak mencakup perkawinan antar agama, oleh karena
pada umumnya agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama, maka dapat ditafsirkan bahwa secara
implisit Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pun melarang adanya perkawinan beda agama (Hartini,
2009:15).
Pendapat
dari komnas HAM
Uji materi terhadap terhadap Undang-Undang (UU) Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Bahkan, perkawinan beda agama juga dinilai melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) karena bertentangan dengan UU tentang HAM.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Maneger Nasution mengatakan, dalam
pasal 28B UUD 1945 telah disebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Bunyi yang sama
persis juga tercantum dalam Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Menurutnya, perkawinan di Indonesia dianggap sah apabila dilakukan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing. “Jadi (perkawinan beda agama) itu
bertentangan dengan Pasal 28B UUD 1945 dan juga sekaligus melanggar HAM,”
katanya kepada //Republika//, Selasa (16/9).
Dia mengatakan, negara Indonesia memang bukan negara agama, tetapi Indonesia
adalah negara orang yang beragama. Hal itu sebagai konsekuensi logis dari
ideologi Pancasila yang dianut bangsa Indonesia. Maka, kata dia, Mahkamah
Konstitusi (MK) harus menolak permohonan uji materi. Sebab, perkawinan beda
agama bertentangan dengan konstitusi.
Menurutnya, masalah perkawinan masuk dalam domain agama. Posisi negara hanya
sebatas fungsi administrasi atau pencatatan peristiwa perkawinan. Sementara sah
atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.
Jika pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu dibatalkan
oleh MK, kata dia, maka hukum negara justru menabrak hukum agama. Hal itu
berarti negara tidak hadir dalam menjamin warganya untuk menjalankan keyakinan
yang mereka anut. “Dan itu justru yang bertentangan dengan konstitusi,”
ujarnya.